Selasa, 01 April 2014


Peran Pendidikan Pesantren Terhadap Pembangunan Karakter Bangsa
(Sebuah kajian dalam rangka menyongsong hari pendidikan nasional)
Oleh: Achmad Nurohim*

A.      Telaah pendidikan Pesantren
Tanggal 2 mei merupakan salah satu hari istimewa dan bersejarah bagi perjalanan pendidikan nasional bangsa ini. Karena di tanggal ini kita memperingati dan  mengenang tonggak awal sejarah pendidikan kita. Pelopor utama peletak sejarah pendidikan bangsa ini adalah Ki Hajar Dewantara, beliau salah seorang pahlawan yang terlibat aktif dalam perjuangan pergerakan Revolusi yang mula-mula merintis lembaga pendidikan modern yang dinamakannya Taman Siswa. Artinya tempat belajar bagi anak-anak dan masyarakat pribumi yang sedang belajar ilmu pengetahuan yang pada saat itu dilarang keras untuk sekolah oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tanggal ini setiap tahun kita peringati, dan menjadi salah satu hari nasional kita. Dalam waktu yang bersamaan, lembaga pendidikan yang bersumber dari akar budaya bangsa ini, yaitu Pesantren juga mempunyai kontribusi besar terhadap anak-anak dan masyarakat pribumi dalam hal memberikan layanan pendidikan dalam rangka membentuk dan mempersiapkan sumber daya manusia indonesia. Tapi anehnya, Pesantren tidak mendapatkan apresiasi seperti halnya Taman Siswa. Ada apa dengan Pesantren ………...?

Pondok pesantren menurut sejarah akar berdirinya di Indonesia, ditemukan dua pendapat. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. pondok pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi; Kedua, pondok pesantren yang dikenal sekarang pada awalnya merupakan penyesuaian dari sistem pondok pesantren yang diadakan masyarakat Hindu di Nusantara (Kemenag, 2003).

Pondok pesantren adalah dua buah kata yang mempunyai satu kesatuan makna. Kata "pondok", mempunyai pengertian asrama-asrama para santri, atau tempat tinggal yang dibuat untuk tempat mukim para santri, yang berasal dari kata Arab, yaitu Funduk yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan kata “pesantren” berasal dari kata santri yang mendapatkan imbuhan dengan awalan pe- dan akhiran -an, yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dan bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C. C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dan kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama. Sementara itu, Nurcholish Madjid, dalam buku "Bilik-bilik Pesantren" meyebutkan, pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Idonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Ia menilai, pesantren mengandung makna ke-Islam-an sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata " Pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seseorang yang mengikuti gurunya kemanapun dia pergi.

Menurut Zamaksani Dhofier, ada dua kelompok santri, yaitu: a) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan gemblengan yang matang kepadanya, dan untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Pada kebanyakan pesantren dahulu, seluruh komplek bukan merupakan milik kyai saja, melainkan milik masyarakat, hal ini disebabkan karena para kyai memperoleh sumber-sumber keuangan untuk membiayai pendanaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat, sehingga masyarakat juga merasa memiliki.
Dalam historis pendidikan di Indonesia, pesantren termasuk lembaga pendidikan tertua, bahkan dalam sejarah perjuangan dan pembangunan bangsa, pesantren sudah banyak memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan pemimpin yang berkarakter kuat, militan, penuh integritas, gigih, visioner, pantang menyerah dan ikhlas dalam berjuang. Kontribusi tersebut tidak berhenti pada masa perjuangan bangsa, melainkan hingga dewasa ini, pimpinan institusi tertinggi negara banyak yang dipimpin oleh tokoh nasional dengan latar belakang pesantren.
Pondok pesantren sebagai satuan pendidikan luar sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Sitem pendidikan mengandung beberapa subsistem yang saling berkaitan dengan tujuannya. Begitu pula pondok pesantren apabila dijadikan sebagai sistem pendidikan, maka harus memiliki subsistem tersebut. Kafrawi (1978) mengungkapkan bahwa pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia dan salah satu bentuk kebudayaan asli bangsa Indonesia. Lembaga dengan pola Kiai, Santri, Asrama dan Masjid/Surau telah dikenal tidak hanya dalam bidang keagamaan saja tetapi juga dalam kisah dan cerita rakyat maupun sastra klasik Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Oleh karena itu tidak berlebihan kalau dalam momentum hari pendidikan nasional ini nama pesantren juga disebut-sebut.
Dalam praktiknya, di samping menyelenggarakan kegiatan pengajaran, pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui  penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren. Kafrawi (1978) mengemukakan bahwa hal tersebut pada umumnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu lingkungan (sistem asrama/hidup bersama), perilaku Kiai sebagai central figure dan pengamalan kandungan kitab-kitab yang dipelajari.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pergeseran paradigma pembangunan pendidikan, pesantren kini digiring untuk dilengkapi dengan pendidikan formal, sehingga pesantren di samping menyelenggarakan pendidikan non formal (madrasah diniyah, ngaji sorogan dan bandongan) juga menyelenggarakan pendidikan formal (SD, SMP, SMA dan bahkan sampai Universitas).
B.       Telaah pendidikan karakter di pesantren.
Pendidikan karakter  dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi nilai inti (core values) dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya.

Menurut Ali Ibrahim Akbar (2009), praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorentasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.

Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Adapun berkarakter  adalah  berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. (Modul Pendidikan Karakter)
Adapun Sulhan (2010) mengemukakan tentang beberapa langkah yang dapat dikembangkan oleh pesantren  dalam melakukan proses pembentukan karakter pada santri. Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Memasukan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara:
·       Menambahkan nilai kebaikan kepada santri (knowing the good)
·       Menggunakan cara yang dapat membuat santri memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good)
·       Mengembangkan sikap mencintai untuk berbuat baik (loving the good)
2.    Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah/pesantren.
3.    Pemantauan secara kontinue. Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter. Beberapa hal yang harus selalu dipantau diantaranya adalah:
·       Kedisiplinan masuk pesantren,
·       Kebiasaan saat makan di kantin,
·       Kebiasaan dalam berbicara,
·       Kebiasaan ketika di masjid,
·       Kebiasaan ketika mengikuti kegiatan-kegiatan pesantren, dll
Sementara Koesoema (2010) memberikan formula bahwa pendidikan  karakter jika ingin efektif dan  utuh harus menyertakan tiga basis desain dalam pemogramannya.
1.      Desain pendidikan  karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru/ustad sebagai pendidik dan siswa/santri sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri atas guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula ranah  non-instruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman. Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, kegiatan rutin proses pembelajaran harian dilaksanakan di lingkungan masjid/madrasah dengan ustad/ustadzah bertindak sebagai fasilitator, mediator dan modeling.

2.      Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah/pesantren. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah/pesantren yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah/pesantren agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa/santri. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah/pesantren dilaksanakan dengan menata lingkungan fisik sekolah/pesantren dan pembuatan tata tertib sekolah/pesantren yang bernuansa nilai-nilai Islam, hal tersebut relevan dengan core pilar karakter yakni cinta kepada Allah dan segenap ciptaanya.

3.      Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam  konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.  Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakter berbasis komunitas dikembangkan dengan membuat kelompok-kelompok belajar dan mengembangkan program pengembangan diri.
Selain pendekatan di atas, minimal terdapat empat strategi yang bisa menjadi alternatif pendidikan karakter di pesantren:
1.        Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat pesantren) secara bersama-sama membuat tata kelela (good governence) atau tata tertib penyelenggaraan pesantren yang didalamnya dilandasi oleh nilai-nilai pendidikan karakter/akhlak, perumusan tata kelola ini penting dibuat secara bersama, bahkan melibatkan santri dan tidak bersifat top down dari pimpinan pesantren. Sehingga terlahir tanggung jawab moral kolektif  yang dapat melahirkan sistem kontrol sosial, yang pada giliranya mendorong terwujudnya institution culture yang penuh makna.
2.        Pendekatan Model yakni mereka (perangkat pesantren), khususnya pimpinan pesantren berupaya untuk menjadi model dari tata tertib yang dirumuskan, ucap, sikap dan prilakunya menjadi perwujudan dari tata tertib yang disepakati bersama.
3.        Pendekatan Reward and Punishmen yakni diberlakukanya sistem hadiah dan hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnya tata kelola yang dibuat.
4.        Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun suasana psikis) yakni dengan mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber inspirasi penyadaran nilai bagi seluruh perangkat pesantren, termasuk para santri, seperti dengan memasang visi pesantren, kata-kata hikmah, ayat-ayat  Al qur’an dan mutiara hadis di tempat-tempat yang selalu terlihat oleh siapapun yang ada di pesantren, memposisikan bangunan masjid di arena utama pesantren, memasang kaligrafi di setiap ruangan belajar santri, membiasakan membaca Al qur’an setiap mengawali belajar dengan dipimpin ustad, program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan dan sebagainya. (Sofyan Sauri. 2011)
C.      Faktor yang mempengaruhi pendidikan karakter pesantren
Terdapat dua faktor yang mendukung eksistensi pendidikan karakter pondok pesantren, yaitu meliputi faktor intern dan ekstern.
1.        Faktor Internal
Pertama, Faktor Kemandirian: secara kelembagaan pondok pesantren mempunyai kemandirian. Kemandirian itu tercermin dalam figure kyai sebagai pemimpin dan pengasuh yang mempunyai otoritas penuh terhadap keseluruhan yang ada dilingkungan pesantren. Maju-mundurnya pesantren sangat tergantung dari ketokohan kyai yang memimpin dan mengasuhnya. Tradisi yang digunakan untuk menentukan kyai pengasuh pondok adalah tradisi turun-temurun diambil dari putra tertua laki-laki. Gambaran pondok pesantren seperti ini menunjukkan, bahwa dalam sistem tersebut menyerupai sebuah kerajaan kecil. Selain itu, kekuatan kemandirian juga tercermin dalam sisten pendidikannya. Pondok pesantren dalan menjalankan pendidikannya cukup mandiri dan merdeka, serta tidak terikat oleh suatu institusi atau lembaga lainnya. Ini ditentukan melalui kurikulum sistem pengajaran yang digunakan pengajar maupun lulusannya. Disamping itu, sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dikenal dengan "sistem pondok". Dengan sistem ini, proses pendidikan dan pengajaran berIangsung terus menerus. Pengajaran dan pendidikan berlangsung, baik dalam kelas maupun di luar kelas,siang maupun malam.

Dalam sistem ini pula, hubungan antara ustadz atau kyai dengan santri atau siswa berlangsung dalam setiap waktu sehingga terpadu suasana perguruan dan kekeluargaan. Sistem pondok, dapat dikatakan sebagai pendidikan dan kemandirian langsung yang dilakukan oleh santri atau siswa santri atau siswa juga dihadapkan pada kehidupannya sendiri, yaitu pengaturan diri sendiri dari sejak pengambilan keputusan sampai pelaksanaannya. Solidaritas tumbuh secara wajar. Santri belajar saling menghormati dan menghargai, serta tenggang rasa. Sikap dan sifat keterbukaan dapat berkembang secara baik, sifat isolatif kurang atau tidak mendapatkan tempat. Santri atau siswa berkompetisi secara sehat dalam proses meraih prestasi.

Maksudnya, santri atau siswa tidak hanya melihat Prestasi dari santri atau siswa lainnya, tetapi santri atau siswa dapat belajar langsung dari temannya, bagaimana cara meraih prestasi: cara belajar, membagi waktu dalam tugas, dan lain sebagainya. Disinilah akan didapatkan sifat jujur untuk dirinya dan pada yang lain.

Keberhasilan dalam sistem pondok tidak lepas dari peranan kyai atau guru dalam memberikan pengaturan, pengawasan dan bimbingan yang disertai dengan keteladanan yang murni sebagai landasannya. Kemandirian Ini yang dimiliki pondok pesantren adalah dalam pendanaan operasional, dimana pesantren lebih mengutamakan pada santri dan masyarakat pendukungnya yang nantinya tidak mengikat pada kebijaksanaan pondok pesantren. Pembiayaan pondok pesantren hampir seluruhnya datang dari santri dan sebagian lain dari Masyarakat pendukung pondok pesantren. Sifat kemandirian dalam pembiayaan adalah keberhasilan dari lembaga pondok pesantren yang telah mampu menjalin jaringan aksi, baik terhadap lembaga pemerintah dan masyarakat.

Kedua, Faktor Sistem Nilai dan Kultur: sistem Nilai dan Kultur yang didukung dan hidup di lingkungan pesantren lebih kuat dibandingkan dengan sistem nilai dan kultur di luar. Sistem nilai kultur yang hidup dan didukung oleh lingkungan pesantren, dapat ditelusuri dari ajaran pembentuk kehidupannya. Nilai dan kultur pesantren begitu tertanam kuat di kalangan santri sehingga setiap santri bertanggung jawab atas kelangsungan nilai dan kultur yang hidup dan didukungnya. Nilai dan kultur itu tercermin dalam sikap hidup, tradisi yang berlaku, serta seni yang hidup, dimana semuanya bersumber dan ajaran agama Islam.

2.    Faktor Eksternal
Pertama, ditinjau secara kelembagaan, yaitu terdapat banyak "langgar-langgar" yang tersebar hampir d seluruh desa. Langgar merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempunyai banyak kesamaan dengan pondok pesantren. Bedanya hanya terletak pada santri tidak menetap dalam pondok. Sedangkan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya, secara keseluruhan menyerupai pondok pesantren.

Langgar biasanya didirikan oleh seorang Kyai yang sebelumnya telah belajar ilmu agama Islam di pondok pesantren. Lembaga langgar merupakan faktor pendukung utama bagi eksistensinya pondok pesantren karena dari lembaga inilah penyebaran informasi oleh seorang Kyai dapat berlangsung. Jadi kedudukan lembaga langgar adalah lembaga Islam tradisional tingkat dasar.Kedua, masyarakat Islam tradisional yang tersebar di wilayah pedesaan dilihat dari mata pencaharian masyarakat Islam tradisional adalah petani, buruh, pedagang, dan sebagian kecil pegawai. Pondok pesantren mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat Islam tradisional karena antara keduanya mempunyai hubungan tradisionaI, dimana pondok pesantren memberikan bimbingan keagamaan, pelayanan pendidikan, serta kepemimpinan infomal. Sementara sebagai timbal baliknya, masyarakat Islam tradisional memberikan sumbangan dalam pendanaan, baik melalui infak dan sadaqah, maupun melalui santri-santri yang belajar dipesantren. (R. Syehha A M)

Dalam tradisi pesantren, metode dan sistem pengajaran, memiliki model-model klasikal, yaitu sistem pengajaran individual dengan menggunakan metode sorogan dan wetonan. Di daerah Jawa Barat metode wetonan disebut metode bandongan, sedangkan di daerah Sumatera dikenal dengan metode halaqah. Dua metode tersebut, sorogan dan wetonan merupakan ciri khas dalam pengajaran di pesantren, sekaligus sebagai metode yang tertua dan utama dalam pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning).

Kedua metode tersebut telah bertahan sejak awal sejarah Islam di Indonesia hingga sekarang dan terus dilestarikan, terutama di pondok pesantren salaf. Metode sorogan, yaitu cara mengajar dimana santri menghadap kyai atau ustadz seorang demi seorang, dengan menyodorkan kitab yang dipelajarinya. Cara pengajarannya yaitu kyai atau ustadz membacakan dan atau menyimak kitab yang berbahasa arab gundul (tanpa sandang apapun/harakat), kalimat demi kalimat kemudian diartikannya dalam bahasa Jawa, baru kemudian kyai atau ustadz menjelaskan secara keseluruhan. Kegiatan santri adalah menyimak sambil memberi catatan-catatän kecil dibawah atau disamping, atau ngesahi teks Arab sebagai bukti bahwa bagian tersebut telah dipelajari.

Metode sorogan merupakan sistem pengajaran individual yang sangat baik. Kyai atau ustadz dengan santri dapat langsung berinteraksi sehingga proses pengajaran dan pendidikan akan lebih bermakna. Pengajaran dengan metode sorogan merupakan bagian yang paling sulit dalam keseluruhan sistem pendidikan karena menuntut kesabaran, ketekunan, ketaatan dan kedisiplinan santri. Kehandalan dan penggunaan sistem ini telah terbukti sangat efektif dan selektif sebagai taraf dasar, atau awal bagi seorang santri dapat meraih gelar seorang yang alim.

Selain metode diatas terdapat juga metode lain, yaitu metode musyawarah (bahtsul masa’il). Santri di hadapkan pada masalah yang nyata di hadapi masyrakat kemudian mereka di tuntut untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sering kali karena perbedaan perspektif dalam menyikapi suatu masalah terjadi perdebatan yang alot di antara mereka, dan pada penyikapan ini mereka juga dituntut untuk bertanggung jawab dalam menyampaikan pendapatnya sehingga landasan literature mutlaq diperlukan. Dan kitab kuninglah yang menjadi acuanya. Tujuan dari bahtsul masail ini bahwa para santri di harapkan mampu menghadapi masalah yang sedang di alami oleh masyarakat sehingga apa yang mereka pelajari bukanlah hal yang mengawang dilangit akan tetapi merupakan realitas nyata dan oleh karena itu problem yang di ajukan juga selalu terkait dengan masyarakat. Dan posisi seorang Kyai hanya menjadi fasilitator, membimbing, dan sebagai narasumber terakhir apabila santri mengalami kesulitan. (Sofyan Sauri. 2011).

Dari deskripsi diatas sangat tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Pesantren salah satu lembaga yang mempunyai peran signifikan dan kontribusi besar dalam pembentukan dan pembangunan  karakter dan kapasitas bangsa (character and capasity building). Dalam penerapan pendidikannya pesantrean lebih mengedepankan kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Oleh karena itu dalam momentum hari pendidikan nasional (hardiknas) ini kita juga patut memberikan apresiasi yang tinggi terhadap keberhasilan pendidikan Pondok Pesantren. Wa Allâhu a’lam bi al-shawâb.

* Penulis adalah alumnus Pesantren Ngalah Purwosari Pasuruan, dan juga pengembang komunitas siswa berbahasa arab di SMP YPI Baiturrahman Ngoro, dan ia juga staf pengajar di SD Negeri Manduro 2 Ngoro Mojokerto.

 IDENTITAS PENULIS

Nama
:
ACHMAD NUROHIM

Tempat, tanggal lahir
:
Mojokerto, 15 Juni 1982

Pekerjaan
:
Guru

Alamat
:
Dsn. Buluresik RT. 19 RW. 04 Ds. Manduro MG Kec. Ngoro Kab. Mojokerto Kode Pos 61385

Nomor HP
:
0857 3236 9815

Email
:
achmad.nurohim@yahoo.co.id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lugas, Cerdas, Santun dan Mendidik