Peran Pendidikan Pesantren Terhadap Pembangunan Karakter Bangsa
(Sebuah kajian dalam rangka menyongsong hari pendidikan nasional)
Oleh: Achmad
Nurohim*
A.
Telaah pendidikan Pesantren
Tanggal 2 mei merupakan salah satu
hari istimewa dan bersejarah bagi perjalanan pendidikan nasional bangsa ini.
Karena di tanggal ini kita memperingati dan mengenang tonggak awal sejarah pendidikan kita.
Pelopor utama peletak sejarah pendidikan bangsa ini adalah Ki Hajar Dewantara,
beliau salah seorang pahlawan yang terlibat aktif dalam perjuangan pergerakan
Revolusi yang mula-mula merintis lembaga pendidikan modern yang dinamakannya
Taman Siswa. Artinya tempat belajar bagi anak-anak dan masyarakat pribumi yang
sedang belajar ilmu pengetahuan yang pada saat itu dilarang keras untuk sekolah
oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tanggal ini setiap tahun kita peringati,
dan menjadi salah satu hari nasional kita. Dalam waktu yang bersamaan, lembaga
pendidikan yang bersumber dari akar budaya bangsa ini, yaitu Pesantren juga
mempunyai kontribusi besar terhadap anak-anak dan masyarakat pribumi dalam hal
memberikan layanan pendidikan dalam rangka membentuk dan mempersiapkan sumber
daya manusia indonesia. Tapi anehnya, Pesantren tidak mendapatkan apresiasi
seperti halnya Taman Siswa. Ada apa dengan Pesantren ………...?
Pondok pesantren menurut sejarah
akar berdirinya di Indonesia, ditemukan dua pendapat. Pertama, pendapat
yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri,
yaitu tradisi tarekat. pondok pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan
tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi; Kedua, pondok pesantren yang
dikenal sekarang pada awalnya merupakan penyesuaian dari sistem pondok
pesantren yang diadakan masyarakat Hindu di Nusantara (Kemenag, 2003).
Pondok
pesantren adalah dua buah kata yang mempunyai satu kesatuan makna. Kata
"pondok", mempunyai pengertian asrama-asrama para santri, atau tempat
tinggal yang dibuat untuk tempat mukim para santri, yang berasal dari kata Arab,
yaitu Funduk yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan kata “pesantren”
berasal dari kata santri yang mendapatkan imbuhan dengan awalan pe- dan akhiran
-an, yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan Profesor Jhons
berpendapat bahwa istilah santri berasal dan bahasa Tamil yang berarti guru
mengaji. Sedang C. C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dan kata shastri,
yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama. Sementara
itu, Nurcholish Madjid, dalam buku "Bilik-bilik Pesantren"
meyebutkan, pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Idonesia yang telah
berakar sejak berabad-abad silam. Ia menilai, pesantren mengandung makna
ke-Islam-an sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "
Pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid
pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah
sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari
bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seseorang yang mengikuti gurunya kemanapun
dia pergi.
Menurut
Zamaksani Dhofier, ada dua kelompok santri, yaitu: a) Santri mukim, yaitu
murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok
pesantren.
b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.
b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.
Pondok
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan
aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai
tersebut diperlukan gemblengan yang matang kepadanya, dan untuk memudahkan itu
diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan
seorang kyai. Pada kebanyakan pesantren dahulu, seluruh komplek bukan merupakan
milik kyai saja, melainkan milik masyarakat, hal ini disebabkan karena para
kyai memperoleh sumber-sumber keuangan untuk membiayai pendanaan dan
perkembangan pesantren dari masyarakat, sehingga masyarakat juga merasa
memiliki.
Dalam historis pendidikan di Indonesia, pesantren termasuk
lembaga pendidikan tertua, bahkan dalam sejarah perjuangan dan pembangunan
bangsa, pesantren sudah banyak memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan
pemimpin yang berkarakter kuat, militan, penuh integritas, gigih, visioner,
pantang menyerah dan ikhlas dalam berjuang. Kontribusi tersebut tidak berhenti
pada masa perjuangan bangsa, melainkan hingga dewasa ini, pimpinan institusi
tertinggi negara banyak yang dipimpin oleh tokoh nasional dengan latar belakang
pesantren.
Pondok pesantren sebagai satuan pendidikan luar sekolah
merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Sitem pendidikan mengandung
beberapa subsistem yang saling berkaitan dengan tujuannya. Begitu pula pondok
pesantren apabila dijadikan sebagai sistem pendidikan, maka harus memiliki
subsistem tersebut. Kafrawi (1978) mengungkapkan bahwa pesantren merupakan
salah satu lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia dan salah satu bentuk
kebudayaan asli bangsa Indonesia. Lembaga dengan pola Kiai, Santri, Asrama dan
Masjid/Surau telah dikenal tidak hanya dalam bidang keagamaan saja tetapi juga dalam
kisah dan cerita rakyat maupun sastra klasik Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Oleh karena itu tidak berlebihan kalau dalam momentum hari pendidikan nasional
ini nama pesantren juga disebut-sebut.
Dalam praktiknya, di samping menyelenggarakan kegiatan
pengajaran, pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui
penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren. Kafrawi (1978)
mengemukakan bahwa hal tersebut pada umumnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu
lingkungan (sistem asrama/hidup bersama), perilaku Kiai sebagai central
figure dan pengamalan kandungan kitab-kitab yang dipelajari.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta pergeseran paradigma pembangunan pendidikan, pesantren kini digiring
untuk dilengkapi dengan pendidikan formal, sehingga pesantren di samping
menyelenggarakan pendidikan non formal (madrasah diniyah, ngaji sorogan
dan bandongan) juga menyelenggarakan pendidikan formal (SD, SMP, SMA dan
bahkan sampai Universitas).
B.
Telaah
pendidikan karakter di pesantren.
Pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui
serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai
individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi nilai
inti (core values) dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam
kepribadiannya.
Menurut Ali Ibrahim Akbar
(2009), praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorentasi pada
pendidikan berbasis hard skill
(keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient
(IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan soft
skill yang tertuang dalam emotional
intelligence (EQ), dan spiritual
intelligence (SQ). Pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi
lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian.
Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi
yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.
Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya
berbasiskan hard skill yaitu
menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai
dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini
sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan
soft skill bertumpu pada pembinaan
mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas
kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan
dan keterampilan teknis (hard skill)
saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Pengertian
karakter menurut Pusat Bahasa
Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,
watak”. Adapun berkarakter adalah
berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh
(UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter
berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan
perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang
yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. (Modul Pendidikan Karakter)
Adapun Sulhan (2010) mengemukakan tentang beberapa langkah
yang dapat dikembangkan oleh pesantren dalam melakukan proses pembentukan
karakter pada santri. Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memasukan konsep karakter pada
setiap kegiatan pembelajaran dengan cara:
·
Menambahkan nilai kebaikan kepada santri (knowing the
good)
·
Menggunakan cara yang dapat membuat santri memiliki alasan
atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good)
·
Mengembangkan sikap mencintai untuk berbuat baik (loving
the good)
2. Membuat slogan yang mampu
menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah/pesantren.
3. Pemantauan secara kontinue.
Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter.
Beberapa hal yang harus selalu dipantau diantaranya adalah:
· Kedisiplinan masuk pesantren,
· Kebiasaan saat makan di kantin,
· Kebiasaan dalam berbicara,
· Kebiasaan ketika di masjid,
· Kebiasaan ketika mengikuti
kegiatan-kegiatan pesantren, dll
Sementara Koesoema (2010) memberikan formula bahwa
pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh harus menyertakan
tiga basis desain dalam pemogramannya.
1. Desain pendidikan karakter
berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru/ustad sebagai pendidik dan
siswa/santri sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter
adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi
guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab
komunitas kelas terdiri atas guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan
materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi
dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula ranah non-instruksional,
seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu
terciptanya suasana belajar yang nyaman. Dalam konteks pendidikan karakter di
pesantren, kegiatan rutin proses pembelajaran harian dilaksanakan di lingkungan
masjid/madrasah dengan ustad/ustadzah bertindak sebagai fasilitator, mediator
dan modeling.
2. Desain pendidikan karakter berbasis
kultur sekolah/pesantren. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah/pesantren
yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial
sekolah/pesantren agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri
siswa/santri. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan
memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat
dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang
tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Dalam konteks
pendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakter
berbasis kultur sekolah/pesantren dilaksanakan dengan menata lingkungan fisik
sekolah/pesantren dan pembuatan tata tertib sekolah/pesantren yang bernuansa
nilai-nilai Islam, hal tersebut relevan dengan core pilar karakter yakni
cinta kepada Allah dan segenap ciptaanya.
3. Desain pendidikan karakter berbasis
komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian.
Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan
negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan
karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah
dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan
sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia
yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Dalam konteks
pendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakter
berbasis komunitas dikembangkan dengan membuat kelompok-kelompok belajar dan
mengembangkan program pengembangan diri.
Selain pendekatan di atas, minimal terdapat empat strategi
yang bisa menjadi alternatif pendidikan karakter di pesantren:
1.
Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat pesantren)
secara bersama-sama membuat tata kelela (good governence) atau tata
tertib penyelenggaraan pesantren yang didalamnya dilandasi oleh nilai-nilai
pendidikan karakter/akhlak, perumusan tata kelola ini penting dibuat secara
bersama, bahkan melibatkan santri dan tidak bersifat top down dari
pimpinan pesantren. Sehingga terlahir tanggung jawab moral kolektif yang
dapat melahirkan sistem kontrol sosial, yang pada giliranya mendorong
terwujudnya institution culture yang penuh makna.
2.
Pendekatan Model yakni mereka (perangkat pesantren),
khususnya pimpinan pesantren berupaya untuk menjadi model dari tata tertib yang
dirumuskan, ucap, sikap dan prilakunya menjadi perwujudan dari tata tertib yang
disepakati bersama.
3.
Pendekatan Reward and Punishmen yakni
diberlakukanya sistem hadiah dan hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnya
tata kelola yang dibuat.
4.
Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun
suasana psikis) yakni dengan mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber
inspirasi penyadaran nilai bagi seluruh perangkat pesantren, termasuk para
santri, seperti dengan memasang visi pesantren, kata-kata hikmah,
ayat-ayat Al qur’an dan mutiara hadis di tempat-tempat yang selalu
terlihat oleh siapapun yang ada di pesantren, memposisikan bangunan masjid di
arena utama pesantren, memasang kaligrafi di setiap ruangan belajar santri,
membiasakan membaca Al qur’an setiap mengawali belajar dengan dipimpin ustad,
program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan dan
sebagainya. (Sofyan Sauri. 2011)
C.
Faktor
yang mempengaruhi pendidikan karakter pesantren
Terdapat
dua faktor yang mendukung eksistensi pendidikan karakter pondok pesantren,
yaitu meliputi faktor intern dan ekstern.
1.
Faktor Internal
Pertama,
Faktor Kemandirian: secara kelembagaan pondok pesantren mempunyai kemandirian.
Kemandirian itu tercermin dalam figure kyai sebagai pemimpin dan pengasuh yang
mempunyai otoritas penuh terhadap keseluruhan yang ada dilingkungan pesantren.
Maju-mundurnya pesantren sangat tergantung dari ketokohan kyai yang memimpin
dan mengasuhnya. Tradisi yang digunakan untuk menentukan kyai pengasuh pondok
adalah tradisi turun-temurun diambil dari putra tertua laki-laki. Gambaran
pondok pesantren seperti ini menunjukkan, bahwa dalam sistem tersebut
menyerupai sebuah kerajaan kecil. Selain itu, kekuatan kemandirian juga
tercermin dalam sisten pendidikannya. Pondok pesantren dalan menjalankan
pendidikannya cukup mandiri dan merdeka, serta tidak terikat oleh suatu
institusi atau lembaga lainnya. Ini ditentukan melalui kurikulum sistem
pengajaran yang digunakan pengajar maupun lulusannya. Disamping itu, sistem
pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dikenal dengan "sistem
pondok". Dengan sistem ini, proses pendidikan dan pengajaran berIangsung
terus menerus. Pengajaran dan pendidikan berlangsung, baik dalam kelas maupun
di luar kelas,siang maupun malam.
Dalam sistem ini pula, hubungan antara ustadz atau kyai dengan santri atau siswa berlangsung dalam setiap waktu sehingga terpadu suasana perguruan dan kekeluargaan. Sistem pondok, dapat dikatakan sebagai pendidikan dan kemandirian langsung yang dilakukan oleh santri atau siswa santri atau siswa juga dihadapkan pada kehidupannya sendiri, yaitu pengaturan diri sendiri dari sejak pengambilan keputusan sampai pelaksanaannya. Solidaritas tumbuh secara wajar. Santri belajar saling menghormati dan menghargai, serta tenggang rasa. Sikap dan sifat keterbukaan dapat berkembang secara baik, sifat isolatif kurang atau tidak mendapatkan tempat. Santri atau siswa berkompetisi secara sehat dalam proses meraih prestasi.
Maksudnya, santri atau siswa tidak hanya melihat Prestasi dari santri atau siswa lainnya, tetapi santri atau siswa dapat belajar langsung dari temannya, bagaimana cara meraih prestasi: cara belajar, membagi waktu dalam tugas, dan lain sebagainya. Disinilah akan didapatkan sifat jujur untuk dirinya dan pada yang lain.
Keberhasilan dalam sistem pondok tidak lepas dari peranan kyai atau guru dalam memberikan pengaturan, pengawasan dan bimbingan yang disertai dengan keteladanan yang murni sebagai landasannya. Kemandirian Ini yang dimiliki pondok pesantren adalah dalam pendanaan operasional, dimana pesantren lebih mengutamakan pada santri dan masyarakat pendukungnya yang nantinya tidak mengikat pada kebijaksanaan pondok pesantren. Pembiayaan pondok pesantren hampir seluruhnya datang dari santri dan sebagian lain dari Masyarakat pendukung pondok pesantren. Sifat kemandirian dalam pembiayaan adalah keberhasilan dari lembaga pondok pesantren yang telah mampu menjalin jaringan aksi, baik terhadap lembaga pemerintah dan masyarakat.
Kedua, Faktor Sistem Nilai dan Kultur: sistem Nilai dan Kultur yang didukung dan hidup di lingkungan pesantren lebih kuat dibandingkan dengan sistem nilai dan kultur di luar. Sistem nilai kultur yang hidup dan didukung oleh lingkungan pesantren, dapat ditelusuri dari ajaran pembentuk kehidupannya. Nilai dan kultur pesantren begitu tertanam kuat di kalangan santri sehingga setiap santri bertanggung jawab atas kelangsungan nilai dan kultur yang hidup dan didukungnya. Nilai dan kultur itu tercermin dalam sikap hidup, tradisi yang berlaku, serta seni yang hidup, dimana semuanya bersumber dan ajaran agama Islam.
2. Faktor Eksternal
Pertama,
ditinjau secara kelembagaan, yaitu terdapat banyak "langgar-langgar"
yang tersebar hampir d seluruh desa. Langgar merupakan lembaga pendidikan Islam
tradisional yang mempunyai banyak kesamaan dengan pondok pesantren. Bedanya
hanya terletak pada santri tidak menetap dalam pondok. Sedangkan dalam sistem
pendidikan dan pengajarannya, secara keseluruhan menyerupai pondok pesantren.
Langgar
biasanya didirikan oleh seorang Kyai yang sebelumnya telah belajar ilmu agama
Islam di pondok pesantren. Lembaga langgar merupakan faktor pendukung utama
bagi eksistensinya pondok pesantren karena dari lembaga inilah penyebaran
informasi oleh seorang Kyai dapat berlangsung. Jadi kedudukan lembaga langgar
adalah lembaga Islam tradisional tingkat dasar.Kedua, masyarakat Islam
tradisional yang tersebar di wilayah pedesaan dilihat dari mata pencaharian
masyarakat Islam tradisional adalah petani, buruh, pedagang, dan sebagian kecil
pegawai. Pondok pesantren mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat
Islam tradisional karena antara keduanya mempunyai hubungan tradisionaI, dimana
pondok pesantren memberikan bimbingan keagamaan, pelayanan pendidikan, serta
kepemimpinan infomal. Sementara sebagai timbal baliknya, masyarakat Islam
tradisional memberikan sumbangan dalam pendanaan, baik melalui infak dan
sadaqah, maupun melalui santri-santri yang belajar dipesantren. (R. Syehha A M)
Dalam tradisi pesantren, metode dan sistem pengajaran, memiliki model-model klasikal, yaitu sistem pengajaran individual dengan menggunakan metode sorogan dan wetonan. Di daerah Jawa Barat metode wetonan disebut metode bandongan, sedangkan di daerah Sumatera dikenal dengan metode halaqah. Dua metode tersebut, sorogan dan wetonan merupakan ciri khas dalam pengajaran di pesantren, sekaligus sebagai metode yang tertua dan utama dalam pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning).
Kedua metode tersebut telah bertahan sejak awal sejarah Islam di Indonesia hingga sekarang dan terus dilestarikan, terutama di pondok pesantren salaf. Metode sorogan, yaitu cara mengajar dimana santri menghadap kyai atau ustadz seorang demi seorang, dengan menyodorkan kitab yang dipelajarinya. Cara pengajarannya yaitu kyai atau ustadz membacakan dan atau menyimak kitab yang berbahasa arab gundul (tanpa sandang apapun/harakat), kalimat demi kalimat kemudian diartikannya dalam bahasa Jawa, baru kemudian kyai atau ustadz menjelaskan secara keseluruhan. Kegiatan santri adalah menyimak sambil memberi catatan-catatän kecil dibawah atau disamping, atau ngesahi teks Arab sebagai bukti bahwa bagian tersebut telah dipelajari.
Metode sorogan merupakan sistem pengajaran individual yang sangat baik. Kyai atau ustadz dengan santri dapat langsung berinteraksi sehingga proses pengajaran dan pendidikan akan lebih bermakna. Pengajaran dengan metode sorogan merupakan bagian yang paling sulit dalam keseluruhan sistem pendidikan karena menuntut kesabaran, ketekunan, ketaatan dan kedisiplinan santri. Kehandalan dan penggunaan sistem ini telah terbukti sangat efektif dan selektif sebagai taraf dasar, atau awal bagi seorang santri dapat meraih gelar seorang yang alim.
Selain
metode diatas terdapat juga metode lain, yaitu metode musyawarah (bahtsul
masa’il). Santri di
hadapkan pada masalah yang nyata di hadapi masyrakat kemudian mereka di tuntut
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sering kali karena perbedaan perspektif
dalam menyikapi suatu masalah terjadi perdebatan yang alot di antara mereka,
dan pada penyikapan ini mereka juga dituntut untuk bertanggung jawab dalam
menyampaikan pendapatnya sehingga landasan literature mutlaq diperlukan.
Dan kitab kuninglah yang menjadi acuanya. Tujuan dari bahtsul masail ini bahwa
para santri di harapkan mampu menghadapi masalah yang sedang di alami oleh
masyarakat sehingga apa yang mereka pelajari bukanlah hal yang mengawang
dilangit akan tetapi merupakan realitas nyata dan oleh karena itu problem yang
di ajukan juga selalu terkait dengan masyarakat. Dan posisi seorang Kyai hanya menjadi fasilitator,
membimbing, dan sebagai narasumber terakhir apabila santri mengalami kesulitan.
(Sofyan Sauri. 2011).
Dari deskripsi diatas sangat tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa Pesantren salah satu lembaga yang mempunyai
peran signifikan dan kontribusi besar dalam pembentukan dan pembangunan karakter dan kapasitas bangsa (character
and capasity building). Dalam penerapan pendidikannya pesantrean lebih
mengedepankan kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Oleh karena itu dalam momentum hari
pendidikan nasional (hardiknas) ini kita juga patut memberikan apresiasi yang
tinggi terhadap keberhasilan pendidikan Pondok Pesantren. Wa Allâhu
a’lam bi al-shawâb.
*
Penulis adalah alumnus Pesantren Ngalah Purwosari Pasuruan, dan juga pengembang
komunitas siswa berbahasa arab di SMP YPI Baiturrahman Ngoro, dan ia juga staf pengajar
di SD Negeri Manduro 2 Ngoro Mojokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Lugas, Cerdas, Santun dan Mendidik