UN Momentum Peningkatan Mutu
Pendidikan
oleh:
Bambang Indriyanto
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan
Hasil
Ujian Nasional yang baru beberapa bulan lalu diumumkan menunjukan adanya
variasi persentase kelulusan antar sekolah, kabupaten/kota bahkan provinsi. Ada
kabupaten/kota lulusannya masih relatif lebih rendah di banding dengan
kabupaten/kota. Masalah ujian nasional ini pada dasarnya menjadi domain
pedagogis. Maknanya UN adalah bentuk pertanggungjawaban setiap peserta didik
yang telah mengikuti kegiatan belajar mengajar selama periode tertentu.Untuk
peserta didik SD periode tertentu tersebut adalah enam tahun, untuk SMP dan
SMA/SMK periode tertentu tersebut adalah tiga tahun.
Merupakan
suatu hal yang wajar jika ada yang tidak lulus ketika mengikuti Ujian Nasional
(UN). Setiap peserta didik mempunyai kemampuan akademis yang berbeda. Ada
peserta didik yang cepat menguasai mata pelajaran yang diajarkan sehingga pada
saat mengikuti UN sudah siap, tetapi, karena berberbagai alasan, ada perserta
didik yang belum siap ketika mengikuti UN sehingga tidak lulus.
Ketika
dalam suatu kabupaten/kota atau satu sekolah relatif banyak peserta didik yang
tidak lulus, dibanding dengan kabupaten/kota atau sekolah lain, UN mencuat i domain
politis karena banyak komentar dari berbagai kalangan mulai dari pengamat
pendidikan, politisi, sampai dengan orang tua, bahkan anggota masayarakat pada
umumnya. Komentar bervariasi dari tidak setuju dengan diselenggarakannya UN
sampai dengan UN dianggap sebagai upaya untuk mendeskreditkan peserta didik.
Ada juga yang berpendapat UN merupakan alat ukur yang tidak fair. Namun kalau
kita mau memandang dari sudut pandang yang positif, UN dapat dijadikan sebagai
pintu masuk untuk memetakan mutu pendidikan dasar dan menengah. Dari situ titik
pangkal peningkatan mutu pendidikan dilakukan.
Makna
UN
UN
merupakan barometer mengukur mutu pendidikan dari tingkat sekolah sampai dengan
tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan sampai dengan nasional. Agar UN dapat menjadi
barometer mutu pendidikan UN harus bersifat standar. Dalam konteks metodologi
UN yang standar mempunyai dua kriteria yakni validity dan realibility. Secara
definisi validity adalah mengukur apa yang harus diukur. Misal untuk mengukur
prestasi bahasa Inggris, maka UN mata pelajaran Bahasa Inggris mencakup tata
bahasa, perbendaharaan kata, dan pemahaman membaca. Sedangkan reliability
harafiah berarti konsisten. Ibarat suatu penggaris yang panjangnya 30
sentimeter, ketika digunakan untuk mengukur kain yang panjangnya 30 sentimer
maka menghasilkan hasil yang sama untuk mengukur panjang meja.
Soal
UN yang reliabel akan menghasilkan skor yang sama jika ditempuh oleh anak yang
mempunyai kemampuan akademis yang sama dimanapun mereka bersekolah.
Pertanyaannya mengapa anak yang tinggal di Jakarta cenderung mempunyai UN yang
lebih tinggi dibanding dengan siswa yang berasal dari Jayapura atau Palembang,
misalnya, walaupun kemampuannya sama?.
UN
merupakan alat ukur kemampuan akademis bersifat curriculum-driven. Artinya
butir-butir soal yang dituangkan dalam UN didasarkan pada Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI). Keduanya memang bukan kurikulum dalam arti
konvensional. Keduanya merupakan dua dokumen resmi yang menjadi dasar bagi
setiap guru dalam mengajar setiap mata pelajaran kepada siswa. Dua-duanya
saling berkaitan erat satu dengan lainnya, namun secara hirarki SKL posisinya
lebih tinggi daripada SI. SKL merupakan suatu kriteria kompetensi yang harus
dimiliki oleh setiap lulusan pada setiap satuan pendidikan tertentu yang
meliputi SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK. Berdasarkan pada SKL tersebut, SI
dijabarkan menjadi program pada kelas tertentu. Dari situ dijabarkan lebih
lanjut pada pokok bahasan pada satuan waktu yang terdiri dari triwulan,
mungguan sampai dengan harian.
Berdasarkan
pada peraturan Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasioinal Pendidikan, istilah kurikulum hanya ada pada tingkat satuan
pendidikan (sekolah). Setiap satuan pendidikan mempunyai diskresi untuk
menggunakan kurikulum dari berbagai sumber, sepanjang dalam mengartikulasikan
kurikulum tersebut ke dalam mata pelajaran selalu merujuk pada SKL dan SI.
Ketika
terdapat persentase kelulusan yang berbeda antara satu sekolah pada daerah yang
berbeda, terdapat beberapa kemungkinan. Pertama, pada kelas akhir menjelang
kelas terakhir, ketika para peserta didik menngikuti UN, belum semua SI
diajarkan kepada mereka. Kedua, kalaupun sudah merujuk kepada SI, guru belum
cukup kompeten dalam mengartikulasikan SI ke dalam konsep-konsep mata
pelajaran, atau bahkan sarana pendukung yang dimiliki oleh suatu sekolah kurang
memadai dalam memfasilitasi peserta didik untuk memperdalam suatu konsep yang
diajarkan kepada mereka. Ketiga, ada kemungkinan pada saat mengikuti ujian,
peserta didik tidak cukup fit atau nervous, sehingga dalam menjawab tidak
konsentrasi. Keempat, karena adanya kecurangan. Akibat dari kurang percaya diri
baik pada peserta didik maupun guru, sehingga guru mencoba untuk membocorkan
jawaban. Dan akibat fatal dialami oleh peserta didik ketika kunci jawaban yang
diberikan salah.
Lepas
dari berbagai permasalahan tersebut, UN seharusnya dijadikan momentum untuk
meningkatan mutu pendidikan. Kenapa demikian, rendahnya persentase kelulusan UN
pada suatu kabupaten/kota memberikan informasi akurat tentang symptom mutu
pendidikan pada kabupaten/kota tersebut.
Berdasarkan
pada teori education production function rendahnya mutu pendidikan karena dua
faktor umum yaitu in-school factors dan out-of-school. Kelompok faktor yang
pertama meliputi ketersediaan dan pemanfaatan sarana pendidikan yang tersedia
di sekolah, kualifikasi pendidikan dan kompetensi manajerial kepala sekolah,
serta kualifikasi pendidikan dan kompetensi mengajar guru. Sedangkan kelompok
kedua meliputi status ekonomi keluarga siswa yang indikatornya meliputi jenjang
pendidikan orang tua, penghasilan orang tua. Di samping itu, faktor yang
termasuk dalam kelompok kedua adalah motivasi siswa.
Intervensi
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan
Nasional, cenderung ditujukan pada faktor pada kelompok pertama, yaitu
in-school factors. Intervensi pada kelompok faktor ini diharapkan dapat
memberikan hasil dalam jangka waktu relatif pendek. Intervensi terhadap
out-of-school factors akan memberikan hasil yang relatif jangka panjang, dan
juga melibatkan kementerian lain. Peningkatan status ekonomi orang tua,
misalnya, memerlukan keterlibatam Kementerian Pedagangan dan atau Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Pemerintah tentu saja tidak bisa
menunggu status ekonomi orang tua meningkat dahulu agar anaknya bisa sekolah.
Untuk mengatasi hal itu intervensi jangka pendek yang dapat dilakukan oleh
pemerintah adalah pemberian beasiswa miskin.
Dengan
berdasarkan pada asumsi bahwa rendahnya persentase kelulusan UN pada suatu
kebupaten/kota merupakan symptom rendahnya mutu pendidikan pada kabupaten/kota
tersebut, inisiatif yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional akan
memberikan subsidi peningkatan mutu pendidikan pada kabupaten/kota yang
persentase kelulusan UN nya rendah diharapkan akan menjadi intervensi yang
efektif terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Lugas, Cerdas, Santun dan Mendidik